
Tentang Selibat dan Skandal Seksual Klerikus
"Para klerikus hendaknya dengan cukup hati-hati bergaul dengan orang-orang tertentu, jika pergaulan dengan mereka dapat membahayakan kewajibannya untuk memelihara tarak atau dapat menimbulkan batu sandungan bagi kaum beriman." (Kan. 277 paragraf 2)
Banyak cerita yang saya dapat dari berbagai sumber informasi tentang pastor yang melanggar selibat. Cerita-cerita seperti ini menimbulkan pertanyaan bahkan perdebatan di antara umat awam. Tak ada asap jika tak ada api. Tidak sedikit desas-desus yang beredar di masyarakat tentang pastor yang berskandal seksual dengan perempuan. Dari desas-desus itu ada yang akhirnya menjadi terang benderang namun ada pula yang hilang seiring berjalannya waktu. Bukan karena desas desus itu hanya gosip atau fitnah tetapi karena umat yang menjadi "korban" tidak menghendaki "aib"nya diketahui publik. Ada juga yang karena suami "korban" memilih berdamai dengan keadaan demi keutuhan rumah tangga. Ini untuk kasus -kasus yang melibatkan pastor dengan isteri umatnya.
Bagaimana dengan skandal seksual antara pastor dengan umat perempuan dewasa yang berstatus single (gadis atau janda)?
Apakah untuk kasus seperti ini bisa dimaklumi dengan alasan "mau sama mau"?
Bukankah kasus yang demikian ini juga menjadi saru batu sandungan bagi umat?
Selama ini umat sudah terdoktrin bahwa seorang imam itu terikat oleh kaul selibat. Tidak menikah dan tidak menjalin hubungan intim dengan perempuan. Ketika umat mengetahui ada imam yang menjalin hubungan di luar batas kewajaran dengan perempuan, apa yang harus dilakukan umat? Dalam hal ini, sikap umat pun beragam. Ada yang hanya bisik-bisik bergosip di belakang. Ada yang tidak peduli. Ada yang berani mengingatkan dengan menegur secara langsung. Ada yang melaporkannya kepada pimpinan imam ybs. Sayangnya, alih-alih mewujudkan zero tolerance untuk kasus skandal seksual yang melibatkan kaum klerikus, sampai saat ini kasus yang sudah nyata-nyata terbukti pun tidak pernah tuntas. Pejabat Gereja yang berwenang menyelesaikan, terkesan setengah hati menangani imamnya yang melanggar kaul selibat. Kesan yang terlihat justru di antara mereka saling menutupi dan melindungi pelaku. Mengapa demikian? Ada kalimat yang cukup mengejutkan dari Matheus Sukmawanto, salah satu imam di Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 14 Maret 2011 "Banyak senior dan pimpinannya lakukan hal yang sama dia lakukan (skandal seksual). Bdk. Kesaksian di laman Facebook Ristala Windiyana.
Kalimat ini dapat menjadi pegangan bagi umat Katolik untuk mempertanyakan para pimpinan dan pejabat Gereja Katolik kita. Sejauh mana kebenaran kata-kata imam tersebut? Benarkah lambatnya pengungkapan kasus-kasus skandal seksual yang melibatkan kaum klerikus di Gereja Katolik adalah karena sebenarnya di antara mereka "saling pegang kartu"? Biarlah pertanyaan itu menjadi permenungan dan koreksi pribadi di antara mereka. Umat cukup melihat sambil berdoa, semoga Roh Kudus menerangi hati dan budi mereka untuk JUJUR pada hati nurani mereka. Karena Allah mengetahui apa yang tersembunyi di hati umat-Nya.
Berikut ini tulisan tentang SELIBAT yang bisa menjadi bahan untuk menambah wawasan umat beriman.Selibat berasal dari bahasa Latin caelibatus. Artinya secara umum adalah "hidup tidak menikah". Dalam konteks imam Katolik, pilihan hidup tidak menikah ini dijalankan demi motivasi yang amat mulia, yakni mempersembahkan hidup seutuhnya bagi Tuhan dan Gereja-Nya.
Menariknya, selibat tidak segera menjadi tradisi Gereja Katolik sejak abad pertama. Gereja Katolik perlu waktu yang cukup lama untuk sampai pada praktik selibat bagi para imam, yang berlaku saat ini.
Adalah Konsili Elvira sekitar tahun 305 yang pertama kali berpendapat bahwa selibat diwajibkan bagi uskup, imam, dan diakon. Konsili ini dihadiri 19 uskup dari aneka penjuru Spanyol. Jadi, bukan konsili Gereja semesta. Pada abad kesebelas, Gereja dihantam skandal komersialisasi pelayanan rohani dan merosotnya hidup moral sebagian uskup, imam, dan diakon, terutama dalam hidup bersama "selingkuhan". Terkadang jabatan uskup diberikan pada pribadi yang berani membayar paling tinggi, bukan pada pribadi yang bermutu. Syukurlah, sejak 1049, beberapa Paus dengan giat mencoba membenahi kebobrokan ini dengan kembali pada kesucian yang dikehendaki Tuhan. Puncak pembaruan dicapai pada masa Paus Gregorius VII (1073-1085).
Salah satu pokok pembaruan Gregorius ialah penegasan bahwa para uskup, imam, dan diakon haruslah tidak menikah. Dengan berjalannya waktu, larangan mutlak untuk menikah bagi uskup, imam, dan diakon dianggap semakin berdampak baik dan lambat laun diterima oleh mayoritas tokoh awam dan pemimpin Gereja Katolik sebagai tradisi Gereja. Pada 1059 St Peter Damian, seorang kardinal dan salah satu juru bicara yang paling efektif untuk program Paus Gregorius, menulis bukunya On the Celibacy of Priests (De Coelibatu Sacerdotum). Buku ini amat membantu mempromosikan selibat.
Saat Konsili Lateran Kedua (1139) digelar, gagasan kelompok pembaruan Gregorian telah mendulang dukungan luas dari para pemimpin awam dan gerejawi. Dari periode ini sampai Reformasi, larangan pernikahan untuk semua uskup, imam, dan diakon menjadi aturan yang ditaati. Munculnya Gereja Reformasi Abad ke 16, tampillah Luther dan para Reformator lainnya. Mereka berpendapat bahwa selibat tidak ada pendasarannya dalam Perjanjian Baru. Para reformator ini menganggap selibat sebagai sebuah pembatasan kebebasan Kristen yang dipaksakan oleh Vatikan.
Karena itu, para pendeta Gereja Reformasi tidak terikat pada aturan selibat. Tidak seperti para uskup, imam, dan diakon Katolik ritus Romawi yang hingga kini terikat aturan selibat.
Teologi Katolik, berbeda dengan teologi Kristen Reformasi, memandang bahwa selibat memiliki pendasaran dalam Alkitab :
Pertama, Yesus sendiri tidak pernah tercatat memiliki istri dan atau anak. Selibat yang dilakukan "demi kerajaan surga" (Mat 19:12) sangat cocok dengan apa yang kita ketahui telah menjadi fokus kehidupan dan pewartaan Yesus.
Kedua, dalam 1 Korintus 7, Paulus mengangkat keperawanan, bertarak, dan selibat sebagai cita-cita pengikut Kristus. Bagi Paulus, dalam konteks eskatologis sambil menunggu Kedatangan Kedua Tuhan Yesus, praktik-praktik ini membantu menuju pengudusan yang lebih kuat kepada Tuhan. Paulus menulis, "Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya kepada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya. (1 Korintus 7:32b-34).
Namun, ia berhati-hati untuk menegaskan bahwa itu selibat adalah karunia dari Tuhan dan tidak diberikan kepada semua orang. Ketika Paul menulis surat-suratnya, ia menegaskan bahwa ia sendiri menjalankan selibat.
Konsili Vatikan II (1962-1965) menandaskan sejarah selibat yang telah menjadi tradisi Gereja Katolik sejak berabad-abad, setelah mengalami pasang-surut dan problematika.Dalam Kitab Hukum Kanonik, selibat antara lain diatur dalam kanon 277.Kanon 277 paragraf 1 menyatakan,"Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan selamanya demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan suci dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pelayanan kepada Allah dan kepada manusia."
Kan. 277 paragraf 2 menyatakan, "Para klerikus hendaknya dengan cukup hati-hati bergaul dengan orang-orang tertentu, jika pergaulan dengan mereka dapat membahayakan kewajibannya untuk memelihara tarak atau dapat menimbulkan batu sandungan bagi kaum beriman." Apakah selibat melawan kodrat? Pertanyaan yang sangat sering ditanyakan kepada kami, para pastor Katolik adalah "Apakah praktik selibat para imam itu tidak melawan kodrat?"Pertama-tama, penting kita kembali pada makna kodrat itu sendiri dalam pemahaman Katolik.Kiranya, kodrat manusia
dalam perpektif iman Katolik adalah untuk mengabdi Tuhan dan mencintai sesama manusia dengan kasih yang tulus.Para uskup, imam, dan diakon Katolik mengabdi Tuhan dan mencintai sesama manusia dengan kasih yang tulus dengan justru tidak menikah. Seperti logika yang dijabarkan Santo Paulus dalam surat 1 Korintus 7 di atas, justru dengan tidak berkeluarga, lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk melayani Tuhan dan sesama. Bukan berarti selibat dilawankan dengan keluhuran pernikahan. Dalam Gereja Katolik, pernikahan adalah juga sesuatu yang luhur. Pernikahan dan Imamat sama-sama adalah sakramen (tanda dan sarana kehadiran Tuhan).
Menikah atau tidak menikah dengan tujuan melayani Tuhan sama-sama baiknya. Masing-masing adalah panggilan hidup yang secara misterius Tuhan tunjukkan melalui proses pengenalan diri yang (amat) panjang.Yesus sendiri dalam Matius 19:12 bersabda, "Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." Apakah selibat tanda tak normal? Ini juga kadang "dituduhkan" kepada para (calon) imam Katolik. Jangan-jangan karena memang secara seksual tak normal, maka memilih jadi imam. Pengalaman saya belasan tahun dididik dalam seminari ("pesantren" calon imam Katolik) dan pengalaman saya sebagai imam menunjukkan bahwa tuduhan ini tidak benar. Jika ada yang secara seksual tidak normal lalu ingin jadi calon pastor memang ada, tapi sangat sedikit persentasenya. Akan tetapi, dalam proses seleksi bertahun-tahun di seminari (saya sendiri 12 tahun dididik di seminari), kandidat ini kiranya akan sadar diri dan mengundurkan diri. Mengapa? Jadi imam itu komitmen seumur hidup. Jadi imam bukan pelarian dari keadaan diri yang tak normal atau dari putus cinta atau dari kebencian akan pernikahan.Yang menjadi imam karena pelarian pada akhirnya akan "rontok" dengan sendirinya saat tantangan muncul dalam karya dan hidup bersama rekan imam dan umat. Apakah selibat tak bisa jatuh cinta?
Apakah imam Katolik yang selibat tidak bisa jatuh cinta? Waduh, jawabannya mudah sekali: bisa banget. Jatuh cinta adalah pengalaman tiap manusia yang normal.
Justru seleksi motivasi seseorang (melanjutkan proses) jadi imam itu, salah satunya, adalah saat merasakan jatuh cinta. Sebelum ditahbiskan sebagai diakon, jika memang merasa jadi imam itu berat, ya bebas saja mengundurkan diri dan memilih hidup berkeluarga. Jika jatuh cinta dirasakan saat jadi imam, pandai-pandai menerima perasaan itu sebagai karunia dari Tuhan. Toh, kalau hanya perasaan saja kan tidak harus diteruskan ke jenjang pernikahan, kan? Jika ternyata ada imam yang merasa berat dan ingin meninggalkan imamatnya, hal ini tentu tidak ideal, tetapi terjadi. Dalam hal ini, Gereja juga tidak lantas merampas kebebasan seseorang. Gereja dapat melakukan proses pengawaman (laisasi) pada imam yang meninggalkan imamatnya.
#deminamabaikgereja#kalaubersihkenaparisih
https://www.kompasiana.com/.../uniknya-sejarah-makna-dan...
Jakarta, 23 Juni 2022